Senin, 02 Agustus 2010

Peserta Workshop sedang mencoba salah satu tool KIE   
JUBI-Minimnya materi Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) untuk digunakan diwilayah pegunungan Papua telah mendorong Medecins du Monde Papua, Stop Aids Now! dan Foker LSM Papua untuk menyusun sebuah Toolkits KIE yang difokuskan penggunaannya pada masyarakat di wilayah Kabupaten Puncak Jaya.


"Materi KIE yang beredar di wilayah pegunungan kebanyakan didapat dari Jayapura atau wilayah lainnya yang terkadang tidak sesuai dengan konteks sosial budaya lokal." ujar Diarni Rupang, dalam acara workshop dan sosialisasi Modul KIE tentang HIV/AIDS dan Hak Perempuan yang diselenggarakan oleh Foker LSM Papua di hotel Mutiara, 2-3 Februari 2001.
Konsultan yang bekerja untuk proyek penyusunan toolkits KIE yang disosialisasikan tersebut menambahkan bahwa kondisi ini menyebabkan masyarakat di wilayah pegunungan tidak merasa terwakili oleh media KIE tersebut yang berujung pada ketidakpedulian atau ketidakpahaman terhadap isi dari media KIE yang disampaikan.

Kondisi ini dibenarkan oleh beberapa peserta workshop yang berasal dari Wamena dan Puncak Jaya.
"Kami memang menggunakan bahan-bahan penyuluhan yang didapatkan dari pihak lain. Tapi kami mengalami kesulitan dalam menyampaikan isi bahan-bahan penyuluhan tersebut kepada masyarakat. Karena selain bahasanya terlalu formal, beberapa bahasa yang digunakan juga tidak ada dalam kosakata bahasa kami." ujar Yoram Yogobi, Direktur Yukemdi, sebuah LSM yang bekerja di wilayah pegunungan.

Sementara Izak Kipka, Koordinator Yakpesmi meyebutkan mahalnya biaya produksi untuk membuat media KIE yang sangat sederhana sekalipun, adalah penyebab lain yang membuat aktivis HIV/AIDS di wilayah pegunungan terpaksa menggunakan media KIE yang tidak sesuai dengan konteks sosial budaya mereka.
"Kami tinggal menyesuaikan atau mengadaptasinya dalam konteks bahasa lokal diwilayah kerja kami saja."ujar Izak mengenai strategi mereka menyampaikan informasi yang berkaitan dengan pencegahan HIV/AIDS.

Menurut Victor Mambor, Kordinator Stop AIDS Now! Tanah Papua, toolkits yang disusun oleh Foker LSM Papua, MdM dan Stop Aids Now! ini memang agak berbeda dengan materi KIE lainnya. Terutama dalam proses penyusunannya.
"Jika kita perhatikan, materi KIE yang selama ini digunakan adalah bagian yang terpisah dari penyuluh yang menggunakan materi tersebut. Para penyuluh atau Peer Educator (PE) sama sekali tidak terlibat dalam penyusunan materi KIE tersebut. Namun dalam penyusunan materi toolkits yang kami buat ini, para PE terlibat aktif dalam penyusunannya. Mereka merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari toolkits yang saat ini sedang disosialisasikan kepada mitra-mitra SAN! Disini, sebuah proses diagnosis sosial budaya terus dijalankan, baik sejak awal riset hingga saat modul digunakan." ujar Victor Mambor.

Lanjut Victor, pihaknya mengharapkan proses yang dilakukan dalam penyusunan toolkits tersebut bisa diadaptasi oleh pihak-pihak lainnya agar hasilnya bisa sesuai dengan konteks sosial budaya lokal.

"Hasil dalam bentuk apapun memang penting, namun proses menuju hasil tersebut adalah bagian penting lainnya yang sering dilupakan." ujarnya. (Ronald Manufandu)

Illegal Fishing di Papua : Perlu Ditindak Seperti Korupsi

JUBI — Sungguh memprihatinkan. Mungkin itu ungkapan yang tepat untuk menggambarkan bagaimana laut Arafura di Papua di jarah dengan Pukat Harimau.

Praktek illegal fishing yang dilakukan oleh kapal-kapal asing di wilayah perairan Arafura memang bukan baru. Secara keseluruhan, menurut data Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Indonesia, setiap tahunnya, negara ini mengalami kerugian sebesar Rp 30 Triliun akibat illegal fishing (penangkapan ikan ilegal). Laut Arafura sendiri menjadi bagian sorotan dunia internasional atas praktek illegal fishing yang menimpanya. 11 negara saat membicarakan penanganan illegal fishing di Bali Maret tahun kemarin melihat, perlu adanya kerjasama didalam mengatasi pencurian ikan ini. 11 negara tersebut adalah, Australia, Brunai Darussalam, Kamboja, Filipina, Malaysia, Papua Nugini, Singapura, Thailand, Timor Leste, Vietnam dan Indonesia. Menurut Dirjen Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Aji Sularso saat itu, pertemuan tersebut merupakan kelanjutan dari kesepakatan Regional Plan Action (RPOA) untuk memerangi illegal fishing.

Indonesia memang berkepentingan untuk mendukung RPOA karena tingginya kerugian yang diderita. Kerugian Negara, terkait dengan illegal fishing terdiri dari Pajak Penghasilan Perikanan (PHP) Rp 34 miliar, subsidi BBM Rp 23,8 miliar dan nilai sumberdaya perikanan yang terselamatkan, Rp 381 miliar. Bila sumberdaya perikanan ini dikonversi dengan produksi ikan, maka akan mencapai sekitar 43,208 ton. Angka yang mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 17.870 orang.

Lewat komitmen RPOA, dalam tahun 2007, Operasi Dirjen Pengawasan Kelautan akhirnya dapat mencegah kerugian negara hingga mencapai Rp 439 miliar. Selama tahun itu, 184 kapal diajukan ke Pengadilan Adhock dari 2.207 kapal yang diperiksa. Sementara itu, jumlah kasus yang telah ditangani oleh penyidik mencapai 150. Terdiri 63 kasus pelanggaran dokumen perizinan, 27 kasus alat tangkap terlarang, 128 kasus kelengkapan dokumen dan 10 kasus pelanggaran Fishing Ground. Adapun untuk pelaksanaan operasi, DKP didukung oleh alokasi anggaran APBN Rp 254 miliar.

Di Papua, atas maraknya aksi pencurian ikan secara liar yang didalangi para nelayan asing dibantu sebagian oknum nelayan Indonesia, Kepala Staf TNI Angkatan Laut, Laksamana Tedjoe Edhy Purjatno, SH mengatakan, pihak TNI Angkatan Laut pada prinsipnya tetap berkomitmen penuh untuk memberantas para pelaku illegal fishing tersebut. Sebagai upaya membatasi ruang gerak para pelaku pencurian ikan, pihaknya sudah memiliki Lantamal XI yang berkedudukan di Kabupaten Merauke. “Kehadiran Lantamal XI tentu memudahkan koordinasi maupun patroli di sekitar perairan Papua Selatan tersebut,” tukas Kasal. “Patroli akan dilakukan pada tempat-tempat yang rawan terhadap aksi illegal fishing di perairan laut Arafura,” tambahnya.

Untuk memberantas aksi illegal fishing tidak hanya menjadi tugas TNI Angkatan Laut semata. Namun juga semua komponen yang berada di Papua. “Memberantas aksi illegal fishing dibutuhkan juga aksi dari rekan-rekan penyidik di Kejaksaan sampai pada penuntutan”. Hal ini sangat perlu sehingga membuat efek jera kepada para pelaku illegal fishing, sehingga tidak mengulangi perbuatannya. Sebab jika tidak, pelaku illegal fishing akan kembali berbuat mengingat keuntungan yang didapat dari aksi itu berlipat ganda. Kasal juga meminta bantuan masyarakat agar selalu memberikan laporan jika menemukan kapal asing yang melakukan aktivitas penangkapan ikan di perairan Arafura.



Pencurian di Wilayah Australia


Ternyata tidak hanya perairan Indonesia yang dimasuki maling ikan. Di wilayah perairan Australia, nelayan Indonesia pun melakukan hal serupa. Pemerintah Australia kemudian menerapkan sanksi bagi para pelaku pencurian ikan yang terjadi di dalam wilayah laut negaranya. Dari data yang diperoleh, hingga kini, telah lebih dari 2.000 nelayan Indonesia ditangkap di Australia. Kebanyakan dari mereka berasal dari Papua dan Sulawesi Selatan. Banyak dari mereka telah dipulangkan. Namun ada pula yang sedang ditahan di negara itu sekitar empat sampai lima tahun.

Atas masalah ini, DKP bersama Kedubes Australia pernah melaksanakan kunjungan bersama ke Provinsi Papua pada 16 Oktober hingga 19 Oktober 2006. Kegiatan selama kunjungan itu antara lain dilakukan diskusi terbuka dengan masyarakat di Merauke serta pemerintah setempat. Kampanye tersebut membantu masyarakat nelayan dalam memahami bagaimana mereka melakukan aktivitas penangkapan ikan yang sesuai dengan peraturan yang berlaku di masing-masing negara.

Tujuannya agar ke depan tidak ada kegiatan penangkapan ikan ilegal sehingga tidak ada lagi nelayan yang ditangkap. Kampanye penyadaran ini merupakan bagian dari upaya penting untuk menjamin keberlangsungan sumberdaya perikanan di perbatasan kedua negara.
Pada Juni 2006, Parlemen Australia juga mengeluarkan UU yang antara lain menyatakan bahwa nelayan yang tertangkap melakukan penangkapan ikan ilegal di perairan Australia selain denda sebesar Rp 5,7 miliar juga menjalani hukuman penjara selama tiga tahun. Data Pemerintah Australia memperlihatkan antara 1 Januari hingga 31 Juli 2006, Australia menangkap 243 kapal asing yang melakukan penangkapan ikan ilegal di perairannya. 40 kapal di antaranya tertangkap pada Juli 2006.

Dalam peristiwa lain, pernah sebanyak enam nelayan Indonesia asal Merauke dideportasi Dapartemen Imigrasi Australia (DIMA) dari Darwin ke Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Mereka menjalani masa hukuman karena menangkap ikan secara ilegal di zona perikanan negara itu. Keenam nelayan yang dipulangkan dengan Merpati bernomor penerbangan MZ 9613 itu adalah Supzi, Toni, Rizal, Andi, Sait, dan Ruben.

Persoalan nelayan Indonesia yang ditangkap otoritas Australia karena menangkap ikan secara ilegal di perairan utara negara itu tidak hanya mendapat perhatian para diplomat RI di Darwin tetapi juga warga Indonesia di ibukota Negara Bagian Northern Territory (NT). Besarnya perhatian masyarakat Indonesia terhadap kasus illegal fishing bahkan mewarnai sebuah malam silaturrahmi Duta Besar RI untuk Australia dan Vanuatu, T.M. Hamzah Thayeb, dengan lebih dari 100 warga Indonesia di gedung Konsulat RI Darwin. Setidaknya tiga orang melontarkan pertanyaan mengenai masalah tersebut dan bagaimana Pemerintah RI akan menyelesaikan persoalan illegal fishing. John Patteesalanno, warga asal Indonesia beristrikan wanita Australia dan sudah puluhan tahun menetap di kota-kota Australia, Darwin, sempat mengatakan, menangkap ikan secara ilegal di perairan Australia adalah “masalah iman”.


Mungkin ada benarnya. Namun lepas dari itu, sebenarnya ada beberapa cara yang bisa dilakukan dalam menanggulangi kasus illegal fishing.

Yang pertama, memperketat pengawasan yang meliputi peraturan perundang-undangan dibidang perikanan dan koordinasi antara aparat penegak hukum baik pusat maupun daerah.

Kedua, menertibkan izin penggunaan Surat Penangkapan Ikan (SPI) untuk menghindari pemalsuan dan penggandaan izin.

Ketiga, mengoptimalkan implementasi MCS (Monitoring, Controlling, Surveillancea) dengan cara peningkatan sarana dan prasarana pengawasan melalui sinergisitas komponen MCS yang meliputi kapal partroli, pesawat patroli udara, alat komunikasi, radar satelit/pantai, sistem pengawasan masyarakat (siswasmas), pengawas perikanan dan sistem informasi pengawasan.

Yang keempat, menindak keras para pelaku illegal fishing dan menyeret ke pengadilan. Sebab jika hal ini dianggap sebagai sebuah kejahatan yang biasa maka kerugian yang akan diderita bangsa ini akan semakin besar.

“Yah, kita berharap agar tidak lagi terjadi illegal fishing ini, karena sangat merugikan,” kata Danlanal Merauke Letkol Laut (P) Dwi Sulaksono, dalam sebuah kesempatan di Merauke. Apapun bentuknya, praktek illegal fishing harus diberantas layaknya pemberantasan kejahatan korupsi. (jubi/ Ronald Manufandu/Dari Berbagai Sumber)

Sabtu, 31 Juli 2010

Wartawan Merauke Tewas,Diduga Dibunuh

MERAUKE [PAPOS]-Setelah menghilang beberapa hari lalu, Ardyansah Matrais [25] berhasil ditemukan setelah sepeda motor miliknya bersama helm dan sandal ditemukan di Jembatan Tuju Wali-Wali oleh keluarga, namun sudah dalam keadaan tewas. 

Korban ditemukan dalam kondisi telanjang, tanpa sehelai pakaian oleh masyarakat di pinggir Kali Maro tepatnya di bawah sebuah jembatan darurat di Gudang Arang pada Jumat (30/7) sekitar pukul 07.00 Wit. 

Dari pantauan Papua Pos di tempat kejadian perkara (TKP), ratusan masyarakat berdatangan di lokasi guna melihat jasad korban yang sudah membengkak dan terkelupas itu. Warga setempat tidak mengetahui jika korban adalah salah seorang wartawan televisi lokal milik Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Merauke. Satu jam kemudian baru datang keluarga dan satu diantara mereka memastikan jika dia adalah Ardyansah meski hanya melihat dari jarak jauh. 

Ciri-ciri korban adalah Ardyansah setelah dilihat dari kuku, postur tubuh dan juga bagian wajah. Untuk mengetahui penyebab kematian korban petugas kemudian membawa jenazah ke kamar mayat Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Merauke guna dilakukan otopsi. 

Ibu kandung dan isteri korban yang melihat jenazah korban berteriak histeris, setelah melihat cirri-ciri pada tubuh korban yang ada pada bagian bibir atas, terdapat bekas luka jahitan. 

Sementara beberapa sumber mengungkapkan kekhawatiran mereka terhadap korban yang ditemukan dengan tidak mengenakan sehelai pakaian di badan. Jikalau dia meninggal karena tenggelam, tentunya pasti ada pakaian di badan. Apalagi dia pun baru menghilang dua hari lalu. 

Keluarga merasa janggal kematian korban, karena tidak mengenakan sehelai benangpun. Sehingga diduga adanya unsure kejahatan.

“Kita merasa khawatir dengan tewasnya korban ini. karena saat bersangkutan menghilang, banyak pesan singkat dengan nada-nada ancaman pembunuhan dialamatkan kepada sejumlah wartawan di Kota Merauke. Untuk itu, perlu dilakukan penyelidikan lagi guna mengungkap kasus kematian Ardyansah sehingga lebih jelas dan transparan lagi,” pinta mereka.
Setelah dilakukan visum luar dan dimandikan di ruangan kamar mayat RSUD, korban langsung dibawa pulang ke rumah dan disemayamkan sesaat dan di antar ke tempat peristirahatan terakhir. Untuk diketahui saja bahwa sebelum bergabung dengan Merauke TV, korban adalah kontributor ANTV di Merauke. Setelah itu, berangkat ke Jayapura dan bergabung dengan Majalah Foja di Jayapura. Terakhir, almarhum bergabung di Tabloid Jubi selama beberapa bulan dan setelah itu kembali Merauke. 

Kabag Ops Polres Merauke, Kompol Jefri Siagian mengatakan, pihaknya belum bisa memastikan kematian korban. “Memang kita menghendaki agar sebaiknya dilakukan otoupsi, namun keluarga menolak sehingga hanya dilakukan visum di luar. Meski begitu, polisi akan terus melakukan pengembangan dengan penyelidikan lebih lanjut guna mengungkap yang pasti dan jelas,” kata Siagian. 

Sementara itu, Jojo Pemret Koran Rajawali mengatakan, sebelum tewasnya wartawan Merauke TV memang akhir-akhir ini banyak beredar ancaman terhadap wartawan setempat melalui SMS atau pesan singkat yang diduga terkait proses pilkada yang berlangsung di Bumi Animha itu. 

"Dalam pesan singkat itu, wartawan diancam dibunuh dan tidak akan ada tindakan dari polisi dan TNI. Beberapa wartawan telah melaporkan kasus ini ke Polres Merauke," katanya. 

Dia mengakui, dengan beredarnya pesan singkat itu para jurnalis yang bertugas di Merauke, merasa tidak tenang menjalankan tugasnya karena diancam akan dibunuh. Pengancaman yang diterima melalui pesan singkat atau SMS ini sudah terjadi sejak beberapa hari ini. 

Menurutnya, SMS ancaman ini diduga kuat terkait pemilihan kepala daerah yang sedang berlangsung di Merauke. Selain mengancam wartawan, isi dari pesat singkat itu juga merendahkan kinerja Polisi dan TNI setempat.
Berikut salah satu SMS berisi ancaman yang diterima wartawan 

"Para wartawan pengecut jangan pernah bermain api kalautmau terbakar. Karena api akan membakar sekujur tubuh.Kalau masih mau makan di tanah ini, jangan membuat aneh.Kami sudah mendata kalian semua dan bersiap-siaplah untuk dibantai," [frans]

Ada Juga Calon Kapolri Berbintang Dua

JAKARTA, KOMPAS.com — Ketua Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), yang juga Menteri Politik Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto, mengakui bahwa Kepala Kepolisian Negara RI Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri telah mengirim beberapa nama calon Kapolri.

Nama-nama yang terdiri dari perwira Polri berbintang tiga dan dua dikirimkan Kapolri sekitar dua pekan lalu.

"Saya tidak mau menyebut jumlahnya berapa (yang dicalonkan). Akan tetapi benar, ada beberapa. Ada yang bintang tiga dan ada yang bintang dua," kata Djoko, menjawab pers di Kantor Presiden, Kompleks Istana, Jakarta, Jumat (30/7/2010) malam.

Menurut Djoko, Kompolnas hingga saat ini belum memproses dan mengevaluasinya. "Pak Bambang kan pensiunnya Oktober mendatang," kata Djoko.

Saat pers mendesak kira-kira kapan nama Kapolri baru akan digodok, Djoko dengan bercanda menjawab," Tunggi musim durian ya."

Tentang kriteria untuk menjadi Kapolri, Djoko menyatakan, syaratnya tidak hanya normatif seperti kapasitas, kapabilitas, dan integritas. "Akan tetapi, harus bisa menyelesaikan masalah-masalah yang aktual seperti sekarang ini, yang menjadi perhatian publik," katanya.

Ditanya masalah-masalah apa, Djoko menjawab, "Ya, masalah aktual seperti sekarang ini. Sebut saja kaitan kasus Gayus Tambunan (pegawai Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan yang melakukan mafia pajak dan akhirnya melibatkan oknum Polri) dan lainnya," jelas Djoko.

Jumat, 30 Juli 2010

Agar Papua Lebih Maju, UU Otonomi Khusus Harus Dievaluasi

Jakarta - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meminta agar Pemprov Papua diaudit lantaran masih lambannya pembangunan. Sementara anggaran untuk provinsi paling timur Indonesia tersebut paling banyak.

Menjawab masalah ini, UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua harus dievaluasi.

"Jadi kalau Bapak Presiden meminta ini diaudit, ini dalam kerangka amanat UU 21 itu sendiri. Jadi prinsipnya dalam kerangka UU 21 itu sendiri perlu dievaluasi setiap tahun," papar mantan Gubernur Sumatera Barat ini.

Untuk tahun 2009 saja, menurut Gamawan, anggaran Papua mencapai Rp 6,6 triliun. Ini adalah angka tertinggi dibanding dengan provinsi lain di Indonesia.

Gamawan menambahkan, kepala daerah dipilih secara demokratis oleh partai atau golongan tertentu. Namun di lain pihak ada tugas-tugas penyelenggaraan pemerintahan bagi kepala daerah itu.

"Jadi ini 2 hal yang di satu sistem politik, yang satu sistem pemerintahan desentralisasi. Kekuasaan itu kan bersumber kepada presiden, kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan berada di tangan presiden. Lalu, diselenggarakan dalam prinsip desentralisasi," jelas Gamawan.

Nah, kemudian jika ada satu atau dua kepala daerah yang tidak konsen mengurusnya, walaupun dia dipilih rakyat, presiden berhak untuk menegur, mengingatkan memberikan hukuman.

"Inilah yang memerlukan jaminan bahwa penyelenggaraan pemerintah itu dengan efektif dan baik," imbuhnya.

Wartawan Papua yang Hilang Ditemukan Tewas

VIVAnews - Setelah dua hari dinyatakan hilang, Ardiansyah Matra'is, wartawan TV Merauke, akhirnya ditemukan meninggal. Dia ditemukan  di sekitar sungai Gudang Arang, Merauke, Papua, sekitar pukul 06.30 WIT, Jumat 30 Juli 2010.

Saat ditemukan oleh Tim SAR, Ardiansyah sudah dalam keadaan tak bernyawa. Tubuhnya telanjang, dan terapung di sungai. Tim SAR dan polisi menemukan jasadnya terseret arus sungai Gudang Arang. Setelah dievakuasi ke daratan, jasad Ardiansyah dibawa ke Rumah Sakit Umum Merauke untuk dilakukan autopsi. Tapi rencana ini tampaknya batal karena pihak keluarga menolak autopsi.

Hingga saat ini belum diketahui penyebab kematian Ardiansyah. Informasi yang beredar, dia diduga dibunuh, atau bunuh diri. Sikap keluarga Ardiansyah yang menolak otopsi atas jasad wartawan TV lokal itu menyulitkan pengungkapan sebab kematiannya. Hingga saat ini, polisi belum memberikan keterangan apapun terkait kematian korban.

Sebelum bergabung dengan TV Merauke, Ardiansyah adalah wartawan Tabloid Jubi, kontributor ANteve, dan wartawan harian Rajawali.

Kematian Ardiansyah kian menebarkan ketakutan di antara jurnalis di Merauke. Selama sepekan terakhir, sejumlah wartawan Merauke mendapat teror ancaman pembunuhan dari orang tak dikenal.

Diduga kuat, ancaman itu terkait pemberitaan tentang perusakan Baliho Pemikukada Kabupaten Merauke.(np)

Laporan: Banjir Ambarita | Papua
• VIVAnews

OPM Sebar Video Ancaman


VIVAnews - Organisasi Papua Merdeka (OPM) menyebar video rekaman ancaman akan terus melancarkan serangan ke aparat keamanan Indonesia, bila selalu menghambat perjuangan rakyat Papua yang ingin merdeka.

Pernyataan tersebut diutarakan Sekjen Panglima OPM Anton Tabuni dalam video rekaman yang disebarkan ke masyarakat Papua, hari ini, Kamis 22 Juli 2010. Video itu juga mengajak rakyat Papua untuk bersama-sama berjuang melawan pemerintah Indonesia.

"Atas nama Panglima Tertinggi OPM Goliat Tabuni, sebagai bentuk perjuangan, OPM akan terus melancarkan serangan terhadap aparat keamanan Indonesia maupun pihak-pihak yang ingin menghentikan perjuangan mereka. Sekalipun presiden Indonesia terus menerus menambah pasukan di Tingginambut Puncak Jaya," kata Tabuni.  

Jadi, kata perwakilan OPM itu, "Siapapun dia, baik sipil yang menyamar maupun aparat keamanan, akan kami tumpas dari bumi Papua,'' tegasnya.

Dalam gambar rekaman video itu juga terekam pelaksanaan kongres OPM di wilayah Tingginambut Puncak Jaya, yang di mulai dengan upacara adat Pegunungan Papua, serta upacara pengibaran 3 bendera bintang kejora, simbol Papua Merdeka.

Anton Tabuni juga meminta bangsa Papua mendukung kemerdekaan Papua Barat, karena tidak ada alasan lagi untuk menunda-nunda dan tidak bisa di tawar lagi. Aparat keamanan indonesia agar segera menyerah dan angkat kaki dari Papua sambil menyuarakan Papau Merdeka.
"Kemerdekaan Papua adalah hak segala bangsa maka penjajah diatas Papua harus keluar dari Papua," tuturnya.

Video tersebut merupakan, pernyataan resmi OPM terhadap rakyat Papua yang menginginkan kemerdekaan bangsa papua, yang' diselenggarakan
di pusat pertahanan Distrik Tingginambut Puncak jaya 31 Juni tahun 2010.

Sementara, Kapolda Papua Irjen Bekto Suprapto dan Panglima XVII Cenderawasih Mayjen Hotma Marbun mengimbau Goliat Tabuni dan pengikutnya menyerah, dan menghentikan serangan-serangan terhadap warga Papua. (hs)

Laporan: Banjir Ambarita | Papua
• VIVAnews