Senin, 02 Agustus 2010

Illegal Fishing di Papua : Perlu Ditindak Seperti Korupsi

JUBI — Sungguh memprihatinkan. Mungkin itu ungkapan yang tepat untuk menggambarkan bagaimana laut Arafura di Papua di jarah dengan Pukat Harimau.

Praktek illegal fishing yang dilakukan oleh kapal-kapal asing di wilayah perairan Arafura memang bukan baru. Secara keseluruhan, menurut data Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Indonesia, setiap tahunnya, negara ini mengalami kerugian sebesar Rp 30 Triliun akibat illegal fishing (penangkapan ikan ilegal). Laut Arafura sendiri menjadi bagian sorotan dunia internasional atas praktek illegal fishing yang menimpanya. 11 negara saat membicarakan penanganan illegal fishing di Bali Maret tahun kemarin melihat, perlu adanya kerjasama didalam mengatasi pencurian ikan ini. 11 negara tersebut adalah, Australia, Brunai Darussalam, Kamboja, Filipina, Malaysia, Papua Nugini, Singapura, Thailand, Timor Leste, Vietnam dan Indonesia. Menurut Dirjen Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Aji Sularso saat itu, pertemuan tersebut merupakan kelanjutan dari kesepakatan Regional Plan Action (RPOA) untuk memerangi illegal fishing.

Indonesia memang berkepentingan untuk mendukung RPOA karena tingginya kerugian yang diderita. Kerugian Negara, terkait dengan illegal fishing terdiri dari Pajak Penghasilan Perikanan (PHP) Rp 34 miliar, subsidi BBM Rp 23,8 miliar dan nilai sumberdaya perikanan yang terselamatkan, Rp 381 miliar. Bila sumberdaya perikanan ini dikonversi dengan produksi ikan, maka akan mencapai sekitar 43,208 ton. Angka yang mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 17.870 orang.

Lewat komitmen RPOA, dalam tahun 2007, Operasi Dirjen Pengawasan Kelautan akhirnya dapat mencegah kerugian negara hingga mencapai Rp 439 miliar. Selama tahun itu, 184 kapal diajukan ke Pengadilan Adhock dari 2.207 kapal yang diperiksa. Sementara itu, jumlah kasus yang telah ditangani oleh penyidik mencapai 150. Terdiri 63 kasus pelanggaran dokumen perizinan, 27 kasus alat tangkap terlarang, 128 kasus kelengkapan dokumen dan 10 kasus pelanggaran Fishing Ground. Adapun untuk pelaksanaan operasi, DKP didukung oleh alokasi anggaran APBN Rp 254 miliar.

Di Papua, atas maraknya aksi pencurian ikan secara liar yang didalangi para nelayan asing dibantu sebagian oknum nelayan Indonesia, Kepala Staf TNI Angkatan Laut, Laksamana Tedjoe Edhy Purjatno, SH mengatakan, pihak TNI Angkatan Laut pada prinsipnya tetap berkomitmen penuh untuk memberantas para pelaku illegal fishing tersebut. Sebagai upaya membatasi ruang gerak para pelaku pencurian ikan, pihaknya sudah memiliki Lantamal XI yang berkedudukan di Kabupaten Merauke. “Kehadiran Lantamal XI tentu memudahkan koordinasi maupun patroli di sekitar perairan Papua Selatan tersebut,” tukas Kasal. “Patroli akan dilakukan pada tempat-tempat yang rawan terhadap aksi illegal fishing di perairan laut Arafura,” tambahnya.

Untuk memberantas aksi illegal fishing tidak hanya menjadi tugas TNI Angkatan Laut semata. Namun juga semua komponen yang berada di Papua. “Memberantas aksi illegal fishing dibutuhkan juga aksi dari rekan-rekan penyidik di Kejaksaan sampai pada penuntutan”. Hal ini sangat perlu sehingga membuat efek jera kepada para pelaku illegal fishing, sehingga tidak mengulangi perbuatannya. Sebab jika tidak, pelaku illegal fishing akan kembali berbuat mengingat keuntungan yang didapat dari aksi itu berlipat ganda. Kasal juga meminta bantuan masyarakat agar selalu memberikan laporan jika menemukan kapal asing yang melakukan aktivitas penangkapan ikan di perairan Arafura.



Pencurian di Wilayah Australia


Ternyata tidak hanya perairan Indonesia yang dimasuki maling ikan. Di wilayah perairan Australia, nelayan Indonesia pun melakukan hal serupa. Pemerintah Australia kemudian menerapkan sanksi bagi para pelaku pencurian ikan yang terjadi di dalam wilayah laut negaranya. Dari data yang diperoleh, hingga kini, telah lebih dari 2.000 nelayan Indonesia ditangkap di Australia. Kebanyakan dari mereka berasal dari Papua dan Sulawesi Selatan. Banyak dari mereka telah dipulangkan. Namun ada pula yang sedang ditahan di negara itu sekitar empat sampai lima tahun.

Atas masalah ini, DKP bersama Kedubes Australia pernah melaksanakan kunjungan bersama ke Provinsi Papua pada 16 Oktober hingga 19 Oktober 2006. Kegiatan selama kunjungan itu antara lain dilakukan diskusi terbuka dengan masyarakat di Merauke serta pemerintah setempat. Kampanye tersebut membantu masyarakat nelayan dalam memahami bagaimana mereka melakukan aktivitas penangkapan ikan yang sesuai dengan peraturan yang berlaku di masing-masing negara.

Tujuannya agar ke depan tidak ada kegiatan penangkapan ikan ilegal sehingga tidak ada lagi nelayan yang ditangkap. Kampanye penyadaran ini merupakan bagian dari upaya penting untuk menjamin keberlangsungan sumberdaya perikanan di perbatasan kedua negara.
Pada Juni 2006, Parlemen Australia juga mengeluarkan UU yang antara lain menyatakan bahwa nelayan yang tertangkap melakukan penangkapan ikan ilegal di perairan Australia selain denda sebesar Rp 5,7 miliar juga menjalani hukuman penjara selama tiga tahun. Data Pemerintah Australia memperlihatkan antara 1 Januari hingga 31 Juli 2006, Australia menangkap 243 kapal asing yang melakukan penangkapan ikan ilegal di perairannya. 40 kapal di antaranya tertangkap pada Juli 2006.

Dalam peristiwa lain, pernah sebanyak enam nelayan Indonesia asal Merauke dideportasi Dapartemen Imigrasi Australia (DIMA) dari Darwin ke Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Mereka menjalani masa hukuman karena menangkap ikan secara ilegal di zona perikanan negara itu. Keenam nelayan yang dipulangkan dengan Merpati bernomor penerbangan MZ 9613 itu adalah Supzi, Toni, Rizal, Andi, Sait, dan Ruben.

Persoalan nelayan Indonesia yang ditangkap otoritas Australia karena menangkap ikan secara ilegal di perairan utara negara itu tidak hanya mendapat perhatian para diplomat RI di Darwin tetapi juga warga Indonesia di ibukota Negara Bagian Northern Territory (NT). Besarnya perhatian masyarakat Indonesia terhadap kasus illegal fishing bahkan mewarnai sebuah malam silaturrahmi Duta Besar RI untuk Australia dan Vanuatu, T.M. Hamzah Thayeb, dengan lebih dari 100 warga Indonesia di gedung Konsulat RI Darwin. Setidaknya tiga orang melontarkan pertanyaan mengenai masalah tersebut dan bagaimana Pemerintah RI akan menyelesaikan persoalan illegal fishing. John Patteesalanno, warga asal Indonesia beristrikan wanita Australia dan sudah puluhan tahun menetap di kota-kota Australia, Darwin, sempat mengatakan, menangkap ikan secara ilegal di perairan Australia adalah “masalah iman”.


Mungkin ada benarnya. Namun lepas dari itu, sebenarnya ada beberapa cara yang bisa dilakukan dalam menanggulangi kasus illegal fishing.

Yang pertama, memperketat pengawasan yang meliputi peraturan perundang-undangan dibidang perikanan dan koordinasi antara aparat penegak hukum baik pusat maupun daerah.

Kedua, menertibkan izin penggunaan Surat Penangkapan Ikan (SPI) untuk menghindari pemalsuan dan penggandaan izin.

Ketiga, mengoptimalkan implementasi MCS (Monitoring, Controlling, Surveillancea) dengan cara peningkatan sarana dan prasarana pengawasan melalui sinergisitas komponen MCS yang meliputi kapal partroli, pesawat patroli udara, alat komunikasi, radar satelit/pantai, sistem pengawasan masyarakat (siswasmas), pengawas perikanan dan sistem informasi pengawasan.

Yang keempat, menindak keras para pelaku illegal fishing dan menyeret ke pengadilan. Sebab jika hal ini dianggap sebagai sebuah kejahatan yang biasa maka kerugian yang akan diderita bangsa ini akan semakin besar.

“Yah, kita berharap agar tidak lagi terjadi illegal fishing ini, karena sangat merugikan,” kata Danlanal Merauke Letkol Laut (P) Dwi Sulaksono, dalam sebuah kesempatan di Merauke. Apapun bentuknya, praktek illegal fishing harus diberantas layaknya pemberantasan kejahatan korupsi. (jubi/ Ronald Manufandu/Dari Berbagai Sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar